Thursday 11 August 2011

10 Kerusakan Dalam Tahun Baru

Alhamdulillah. Segala puji hanya milik Allah, Rabb yang memberikan hidayah demi hidayah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga akhir zaman. Manusia di berbagai negeri sangat antusias menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga walaupun sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun. Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? Semoga artikel yang singkat ini bisa menjawabnya. 
Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.[1]
Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun baru ini terjadi pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh orang-orang kafir.
Berikut adalah beberapa kerusakan akibat seorang muslim merayakan tahun baru.
Kerusakan Pertama: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan ‘Ied (Perayaan) yang Haram
Perlu diketahui bahwa perayaan (‘ied) kaum muslimin ada dua yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan,
كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.’”[2]
Namun setelah itu muncul berbagai perayaan (‘ied) di tengah kaum muslimin. Ada perayaan yang dimaksudkan untuk ibadah atau sekedar meniru-niru orang kafir. Di antara perayaan yang kami maksudkan di sini adalah perayaan tahun baru Masehi. Perayaan semacam ini berarti di luar perayaan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan sebagai perayaan yang lebih baik yang Allah ganti. Karena perayaan kaum muslimin hanyalah dua yang dikatakan baik yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.
Perhatikan penjelasan Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, komisi fatwa di Saudi Arabia berikut ini:
Al Lajnah Ad Da-imah mengatakan, “Yang disebut ‘ied atau hari perayaan secara istilah adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara periodik boleh jadi tahunan, bulanan, mingguan atau semisalnya. Jadi dalam ied terkumpul beberapa hal:
  1. Hari yang berulang semisal idul fitri dan hari Jumat.
  2. Berkumpulnya banyak orang pada hari tersebut.
  3. Berbagai aktivitas yang dilakukan pada hari itu baik berupa ritual ibadah ataupun non ibadah.
Hukum ied (perayaan) terbagi menjadi dua:
  1. Ied yang tujuannya adalah beribadah, mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan hari tersebut dalam rangka mendapat pahala, atau
  2. Ied yang mengandung unsur menyerupai orang-orang jahiliah atau golongan-golongan orang kafir yang lain maka hukumnya adalah bid’ah yang terlarang karena tercakup dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
    مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
    Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam agama kami ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Misalnya adalah peringatan maulid nabi, hari ibu dan hari kemerdekaan. Peringatan maulid nabi itu terlarang karena hal itu termasuk mengada-adakan ritual yang tidak pernah Allah izinkan di samping menyerupai orang-orang Nasrani dan golongan orang kafir yang lain. Sedangkan hari ibu dan hari kemerdekaan terlarang karena menyerupai orang kafir.”[3] -Demikian penjelasan Lajnah-
Begitu pula perayaan tahun baru termasuk perayaan yang terlarang karena menyerupai perayaan orang kafir.
Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir
Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari raya.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ » . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ « وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ »
Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“[4]
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” [5]
An Nawawi -rahimahullah- ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziro’ (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.”[6]
Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan memang benar-benar terjadi saat ini. Berbagai model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru ini.
Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh).
Beliau bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” [7]
Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).[8]
Kerusakan Ketiga: Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru
Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang mensyari’atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun. “Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama’ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari’atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.
Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat, mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.”
Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud,
وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.
Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud lantas berkata,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.” [9]
Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.
Kerusakan Keempat: Terjerumus dalam Keharaman dengan Mengucapkan Selamat Tahun Baru
Kita telah ketahui bersama bahwa tahun baru adalah syiar orang kafir dan bukanlah syiar kaum muslimin. Jadi, tidak pantas seorang muslim memberi selamat dalam syiar orang kafir seperti ini. Bahkan hal ini tidak dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’).
Ibnul Qoyyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.
Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”[10]
Kerusakan Kelima: Meninggalkan Perkara Wajib yaitu Shalat Lima Waktu
Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat tentang wajibnya. Di antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi min dzalik.
Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar.
Ibnul Qoyyim -rahimahullah- mengatakan, “Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[11]
Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).”[12]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengancam dengan kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[13] Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.
Dengan merayakan tahun baru, seseorang dapat pula terluput dari amalan yang utama yaitu shalat malam. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[14] Shalat malam adalah sebaik-baik shalat dan shalat yang biasa digemari oleh orang-orang sholih. Seseorang pun bisa mendapatkan keutamaan karena bertemu dengan waktu yang mustajab untuk berdo’a yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Sungguh sia-sia jika seseorang mendapati malam tersebut namun ia menyia-nyiakannya. Melalaikan shalat malam disebabkan mengikuti budaya orang barat, sungguh adalah kerugian yang sangat besar.
Kerusakan Keenam: Begadang Tanpa Ada Hajat
Begadang tanpa ada kepentingan yang syar’i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”[15]
Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!”[16] Apalagi dengan begadang, ini sampai melalaikan dari sesuatu yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)?!
Kerusakan Ketujuh: Terjerumus dalam Zina
Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan kemaluan. Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan jenis. Inilah yang terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan muda-mudi. Padahal dengan melakukan seperti pandangan, tangan dan bahkan kemaluan telah berzina. Ini berarti melakukan suatu yang haram.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.”[17]
Kerusakan Kedelapan: Mengganggu Kaum Muslimin
Merayakan tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan, terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu orang-orang yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.”[18]
Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.”[19] Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!
Kerusakan Kesembilan: Meniru Perbuatan Setan dengan Melakukan Pemborosan
Perayaan malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Masya Allah sangat banyak sekali jumlah uang yang dibuang sia-sia. Itulah harta yang dihamburkan sia-sia dalam waktu semalam untuk membeli petasan, kembang api, mercon, atau untuk menyelenggarakan pentas musik, dsb. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (Qs. Al Isro’: 26-27)
Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauh sikap boros dengan mengatakan: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.” Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Namun jika seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).” Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.”[20]
Kerusakan Kesepuluh: Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga
Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan untuk hal yang bermanfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” [21]
Ingatlah bahwa membuang-buang waktu itu hampir sama dengan kematian yaitu sama-sama memiliki sesuatu yang hilang. Namun sebenarnya membuang-buang waktu masih lebih jelek dari kematian.
Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”[22]
Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala berfirman,
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَاءكُمُ النَّذِيرُ
“Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (Qs. Fathir: 37). Qotadah mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.”[23]
Inilah di antara beberapa kerusakan dalam perayaan tahun baru. Sebenarnya masih banyak kerusakan lainnya yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu dalam tulisan ini karena saking banyaknya. Seorang muslim tentu akan berpikir seribu kali sebelum melangkah karena sia-sianya merayakan tahun baru. Jika ingin menjadi baik di tahun mendatang bukanlah dengan merayakannya. Seseorang menjadi baik tentulah dengan banyak bersyukur atas nikmat waktu yang Allah berikan. Bersyukur yang sebenarnya adalah dengan melakukan ketaatan kepada Allah, bukan dengan berbuat maksiat dan bukan dengan membuang-buang waktu dengan sia-sia. Lalu yang harus kita pikirkan lagi adalah apakah hari ini kita lebih baik dari hari kemarin? Pikirkanlah apakah hari ini iman kita sudah semakin meningkat ataukah semakin anjlok! Itulah yang harus direnungkan seorang muslim setiap kali bergulirnya waktu.
Ya Allah, perbaikilah keadaan umat Islam saat ini. Perbaikilah keadaan saudara-saudara kami yang jauh dari aqidah Islam. Berilah petunjuk pada mereka agar mengenal agama Islam ini dengan benar.
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Qs. Hud: 88)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Disempurnakan atas nikmat Allah di Pangukan-Sleman, 12 Muharram 1431 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

[1] Sumber bacaan: http://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_baru
[2] HR. An Nasa-i no. 1556. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[3] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta‘, 3/88-89, Fatwa no. 9403, Mawqi’ Al Ifta’.
[4] HR. Bukhari no. 7319, dari Abu Hurairah.
[5] HR. Muslim no. 2669, dari Abu Sa’id Al Khudri.
[6] Al Minhaj Syarh Shohih Muslim, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, 16/220, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobiy, cetakan kedua, 1392.
[7] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269.
[8] Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 1/363, Wazarotu Asy Syu-un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417 H.
[9] HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid (bagus).
[10] Ahkam Ahli Dzimmah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/441, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1418 H.
[11] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 7, Dar Al Imam Ahmad
[12] Al Kaba’ir, hal. 26-27, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
[13] HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574
[14] HR. Muslim no. 1163
[15] HR. Bukhari no. 568
[16] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/278, Asy Syamilah.
[17] HR. Muslim no. 6925
[18] HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 41
[19] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 1/38, Asy Syamilah
[20] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5/69, pada tafsir surat Al Isro’ ayat 26-27
[21] HR. Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if  Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[22] Al Fawa’id, hal. 33
[23] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/553, pada tafsir surat Fathir ayat 37.
Sumber: www.muslim.or.id

Monday 1 August 2011

Rayuan Setan Dalam Pacaran



Rayuan Setan Dalam Pacaran
﴿ خطورة الخلوة والمعاكسة ﴾
]  Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي


Penyusun : Ibnu Sutopo Yuono





Editor : Eko Haryanto  Abu Ziyad


2009 - 1430



﴿ خطورة الخلوة والمعاكسة ﴾

« باللغة الإندونيسية »

تأليف: ابن سابتومو يووونو




مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو


2009 – 1430




Rayuan Setan Dalam Pacaran
          Para pembaca yang budiman, ketika seseorang beranjak dewasa, muncullah benih di dalam jiwa untuk mencintai lawan jenisnya. Ini merupakan fitrah (insting) yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan terhadap perkara yang dinginkannya berupa wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenagan hidup di dunia. Dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali Imran: 14)
Adab Bergaul Antara Lawan Jenis
Islam adalah agama yang sempurna, di dalamnya diatur seluk-beluk kehidupan manusia, bagaimana pergaulan antara lawan jenis. Di antara adab bergaul antara lawan jenis sebagaimana yang telah diajarkan oleh agama kita adalah:
1. Menundukkan pandangan terhadap lawan jenis
Allah berfirman yang artinya, “Katakanlah kepada laki-laki beriman: Hendahlah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. an-Nur: 30). Allah juga berfirman yang artinya,”Dan katakalah kepada wanita beriman: Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. an-Nur: 31)
2. Tidak berdua-duaan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan (kholwat) dengan wanita kecuali bersama mahromnya.” (HR. Bukhari & Muslim)
3. Tidak menyentuh lawan jenis
Di dalam sebuah hadits, Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Demi Allah, tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun saat membaiat (janji setia kepada pemimpin).” (HR. Bukhari). Hal ini karena menyentuh lawan jenis yang bukan mahromnya merupakan salah satu perkara yang diharamkan di dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, (itu) masih lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani dengan sanad hasan)
Jika memandang saja terlarang, tentu bersentuhan lebih terlarang karena godaannya tentu jauh lebih besar.
Salah Kaprah Dalam Bercinta
Tatkala adab-adab bergaul antara lawan jenis mulai pudar, luapan cinta yang bergolak dalam hati manusia pun menjadi tidak terkontrol lagi. Akhirnya, setan berhasil menjerat para remaja dalam ikatan maut yang dikenal dengan “pacaran“. Allah telah mengharamkan berbagai aktifitas yang dapat mengantarkan ke dalam perzinaan. Sebagaimana Allah berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesugguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. al-Isra’: 32). Lalu pintu apakah yang paling lebar dan paling dekat dengan ruang perzinaan melebihi pintu pacaran?!!
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menetapkan untuk anak adam bagiannya dari zina, yang pasti akan mengenainya. Zina mata adalah dengan memandang, zina lisan adalah dengan berbicara, sedangkan jiwa berkeinginan dan berangan-angan, lalu farji (kemaluan) yang akan membenarkan atau mendustakannya.” (HR. Bukhari & Muslim). Kalaulah kita ibaratkan zina adalah sebuah ruangan yang memiliki banyak pintu yang berlapis-lapis, maka orang yang berpacaran adalah orang yang telah memiliki semua kuncinya. Kapan saja ia bisa masuk. Bukankah saat berpacaran ia tidak lepas dari zina mata dengan bebas memandang? Bukankah dengan pacaran ia sering melembut-lembutkan suara di hadapan pacarnya? Bukankah orang yang berpacaran senantiasa memikirkan dan membayangkan keadaan pacarnya? Maka farjinya pun akan segera mengikutinya. Akhirnya penyesalan tinggallah penyesalan. Waktu tidaklah bisa dirayu untuk bisa kembali sehingga dirinya menjadi sosok yang masih suci dan belum ternodai. Setan pun bergembira atas keberhasilan usahanya….
Iblis, Sang Penyesat Ulung
Tentunya akan sulit bagi Iblis dan bala tentaranya untuk menggelincirkan sebagian orang sampai terjatuh ke dalam jurang pacaran gaya cipika-cipiki atau yang semodel dengan itu. Akan tetapi yang perlu kita ingat, bahwasanya Iblis telah bersumpah di hadapan Allah untuk menyesatkan semua manusia. Iblis berkata, “Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS. Shaad: 82). Termasuk di antara alat yang digunakan Iblis untuk menyesatkan manusia adalah wanita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah (ujian) yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada wanita.” (HR. Bukhari & Muslim). Kalaulah Iblis tidak berhasil merusak agama seseorang dengan menjerumuskan mereka ke dalam gaya pacaran cipika-cipiki, mungkin cukuplah bagi Iblis untuk bisa tertawa dengan membuat mereka berpacaran lewat telepon, SMS atau yang lainnya. Yang cukup menyedihkan, terkadang gaya pacaran seperti ini dibungkus dengan agama seperti dengan pura-pura bertanya tentang masalah agama kepada lawan jenisnya, miss called atau SMS pacarnya untuk bangun shalat tahajud dan lain-lain.
Ringkasnya sms-an dengan lawan jenis, bukan saudara dan bukan karena kebutuhan mendesak adalah haram dengan beberapa alasan: (a) ini adalah semi berdua-duaan, (b) buang-buang pulsa, dan (c) ini adalah jalan menuju perkara yang haram. Mudah-mudahan Allah memudahkan kita semua untuk menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya.




Hidup Tanpa Musik



Hidup Tanpa Musik
﴿ حكم الغناء والموسيقى في الإسلام ﴾
]  Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي


Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi




Editor : Tim Islamhouse.com




2009 - 1430







﴿ حكم الغناء والموسيقى في الإسلام ﴾
« باللغة الإندونيسية »



أبو كريمة عسكري بن جمال البوقسي



مراجعة: الفريق الإندونيسي




2009 - 1430




Hidup  Tanpa   Musik

Kontroversi Seputar Musik dan Nyanyian

Kontroversi tentang musik seakan tak pernah berakhir. Baik yang pro maupun kontra masing-masing menggunakan dalil. Namun bagaimana para sahabat, tabi’in, dan ulama salaf memandang serta mendudukkan perkara ini? Sudah saatnya kita mengakhiri kontroversi ini dengan merujuk kepada mereka.

Musik dan nyanyian, merupakan suatu media yang dijadikan sebagai alat penghibur oleh hampir setiap kalangan di zaman kita sekarang ini. Hampir tidak kita dapati satu ruang pun yang kosong dari musik dan nyanyian. Baik di rumah, di kantor, di warung dan toko-toko, di bus, angkutan kota ataupun mobil pribadi, di tempat-tempat umum, serta rumah sakit. Bahkan di sebagian tempat yang dikenal sebagai sebaik-baik tempat di muka bumi, yaitu masjid, juga tak luput dari pengaruh musik.

Merebaknya musik dan lagu ini disebabkan banyak dari kaum muslimin tidak mengerti dan tidak mengetahui hukumnya dalam pandangan Al-Qur`an dan As- Sunnah. Mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang mubah, halal, bahkan menjadi konsumsi setiap kali mereka membutuhkannya. Jika ada yang menasihati mereka dan mengatakan bahwa musik itu hukumnya haram, serta merta diapun dituduh dengan berbagai macam tuduhan: sesat, agama baru, ekstrem, dan segudang tuduhan lainnya.

Namun bukan berarti, tatkala seseorang mendapat kecaman dari berbagai pihak karena menyuarakan kebenaran, lantas menjadikan dia bungkam. Kebenaran harus disuarakan, kebatilan harus ditampakkan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُولَ في حَقٍّ إِذَا رَآهُ أَوْ شَهِدَهُ أَوْ سَمِعَهُ

“Janganlah rasa segan salah seorang kalian kepada manusia, menghalanginya untuk mengucapkan kebenaran jika melihatnya, menyaksikannya, atau mendengarnya.” (HR. Ahmad, 3/50, At-Tirmidzi, no. 2191, Ibnu Majah no. 4007. Dishahihkan oleh Al-Albani rahimahullahu dalam Silsilah Ash-Shahihah, 1/322)

Terlebih lagi, jika permasalahan yang sebenarnya dalam timbangan Al-Qur`an dan As-Sunnah adalah perkara yang telah jelas. Hanya saja semakin terkaburkan karena ada orang yang dianggap sebagai tokoh Islam berpendapat bahwa hal itu boleh-boleh saja, serta menganggapnya halal untuk dikonsumsi kaum muslimin. Di antara mereka, adalah Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitabnya Al-Halal wal Haram, Muhammad Abu Zahrah, Muhammad Al-Ghazali Al-Mishri, dan yang lainnya dari kalangan rasionalis. Mereka menjadikan kesalahan Ibnu Hazm rahimahullahu sebagai tameng untuk membenarkan penyimpangan tersebut.

Oleh karenanya, berikut ini kami akan menjelaskan tentang hukum musik, lagu dan nasyid, berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta perkataan para ulama salaf.

Definisi Musik

Musik dalam bahasa Arab disebut ma’azif, yang berasal dari kata ‘azafa yang berarti berpaling. Kalau dikatakan: Si fulan berazaf dari sesuatu, maknanya adalah berpaling dari sesuatu. Jika dikatakan laki-laki yang ‘azuf dari yang melalaikan, artinya yang berpaling darinya. Bila dikatakan laki-laki yang ‘azuf dari para wanita artinya adalah yang tidak senang kepada mereka.

Ma’azif adalah jamak dari mi’zaf, dan disebut juga ‘azfun. Mi’zaf adalah sejenis alat musik yang dipakai oleh penduduk Yaman dan selainnya, terbuat dari kayu dan dijadikan sebagai alat musik. Al-‘Azif adalah orang yang bermain dengannya.

Al-Laits rahimahullahu berkata: “Al-ma’azif adalah alat-alat musik yang dipukul.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Al-ma’azif adalah alat-alat musik.”

Al-Qurthubi rahimahullahu meriwayatkan dari Al-Jauhari bahwa al-ma’azif adalah nyanyian. Yang terdapat dalam Shihah-nya bahwa yang dimaksud adalah alat- alat musik. Ada pula yang mengatakan maknanya adalah suara-suara yang melalaikan.

Ad-Dimyathi berkata: “Al-ma’azif adalah genderang dan yang lainnya berupa sesuatu yang dipukul.” (lihat Tahdzib Al-Lughah, 2/86, Mukhtarush Shihah, hal. 181, Fathul Bari, 10/57)

Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu berkata: “Al-ma’azif adalah nama bagi setiap alat musik yang dimainkan, seperti seruling, gitar, dan klarinet (sejenis seruling), serta simba.” (Siyar A’lam An-Nubala`, 21/158)

Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata bahwa al-ma’azif adalah seluruh jenis alat musik, dan tidak ada perselisihan ahli bahasa dalam hal ini. (Ighatsatul Lahafan, 1/260-261)




Mengenal Macam-Macam Alat Musik

Alat-alat musik banyak macamnya. Namun dapat kita klasifikasi alat-alat tersebut ke dalam empat kelompok:

Pertama: Alat-alat musik yang diketuk atau dipukul (perkusi).
Yaitu jenis alat musik yang mengeluarkan suara saat digoncangkan, atau dipukul dengan alat tabuh tertentu, (misal: semacam palu pada gamelan, ed.), tongkat (stik), tangan kosong, atau dengan menggesekkan sebagiannya kepada sebagian lainnya, serta yang lainnya. Alat musik jenis ini memiliki beragam bentuk, di antaranya seperti: gendang, kubah (gendang yang mirip seperti jam pasir), drum, mariba, dan yang lainnya.

Kedua: Alat musik yang ditiup.
Yaitu alat yang dapat mengeluarkan suara dengan cara ditiup padanya atau pada sebagiannya, baik peniupan tersebut pada lubang, selembar bulu, atau yang lainnya. Termasuk jenis ini adalah alat yang mengeluarkan bunyi yang berirama dengan memainkan jari-jemari pada bagian lubangnya. Jenis ini juga beraneka ragam, di antaranya seperti qanun dan qitsar (sejenis seruling).

Ketiga: Alat musik yang dipetik.
Yaitu alat musik yang menimbulkan suara dengan adanya gerakan berulang atau bergetar (resonansi), atau yang semisalnya. Lalu mengeluarkan bunyi saat dawai/senar dipetik dengan kekuatan tertentu menggunakan jari-jemari. Terjadi juga perbedaan irama yang muncul tergantung kerasnya petikan, dan cepat atau lambatnya gerakan/getaran yang terjadi. Di antaranya seperti gitar, kecapi, dan yang lainnya.

Keempat: Alat musik otomatis.
Yaitu alat musik yang mengeluarkan bunyi musik dan irama dari jenis alat elektronik tertentu, baik dengan cara langsung mengeluarkan irama, atau dengan cara merekam dan menyimpannya dalam program yang telah tersedia, dalam bentuk kaset, CD, atau yang semisalnya. (Lihat risalah Hukmu ‘Azfil Musiqa wa Sama’iha, oleh Dr. Sa’d bin Mathar Al-‘Utaibi)

Dalil Al Quran Tentang Haramnya Musik dan Lagu

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Luqman: 6)

Ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala ini telah ditafsirkan oleh para ulama salaf bahwa yang dimaksud adalah nyanyian dan yang semisalnya. Di antara yang menafsirkan ayat dengan tafsir ini adalah:

 Abdullahq bin ‘Abbas Radhiallahu'anhu, beliau mengatakan tentang ayat ini: “Ayat ini turun berkenaan tentang nyanyian dan yang semisalnya.” (Diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (no. 1265), Ibnu Abi Syaibah (6/310), Ibnu Jarir dalam tafsirnya (21/40), Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Malahi, Al-Baihaqi (10/221, 223), dan dishahihkan Al-Albani dalam kitabnya Tahrim Alat Ath-Tharb (hal. 142-143)).

 Abdullahq bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu, tatkala beliau ditanya tentang ayat ini, beliau menjawab: “Itu adalah nyanyian, demi Allah yang tiada Ilah yang haq disembah kecuali Dia.” Beliau mengulangi ucapannya tiga kali. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, Ibnu Abi Syaibah, Al-Hakim (2/411), dan yang lainnya. Al-Hakim mengatakan: “Sanadnya shahih,” dan disetujui Adz-Dzahabi. Juga dishahihkan oleh Al-Albani, lihat kitab Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 143)

 ‘Ikrimahq rahimahullahu. Syu’aib bin Yasar berkata: “Aku bertanya kepada ‘Ikrimah tentang makna (lahwul hadits) dalam ayat tersebut. Maka beliau menjawab: ‘Nyanyian’.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Tarikh-nya (2/2/217), Ibnu Jarir dalam tafsirnya, dan yang lainnya. Dihasankan Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 143).

 Mujahidq bin Jabr rahimahullahu. Beliau mengucapkan seperti apa yang dikatakan oleh ‘Ikrimah. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 1167, 1179, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abid Dunya dari beberapa jalan yang sebagiannya shahih).
Dan dalam riwayat Ibnu Jarir yang lain, dari jalan Ibnu Juraij, dari Mujahid, tatkala beliau menjelaskan makna al-lahwu dalam ayat tersebut, beliau berkata: “Genderang.” (Al-Albani berkata: Perawi-perawinya tepercaya, maka riwayat ini shahih jika Ibnu Juraij mendengarnya dari Mujahid. Lihat At-Tahrim hal. 144)

 Al-Hasanq Al-Bashri Rahimahullah, beliau mengatakan: “Ayat ini turun berkenaan tentang nyanyian dan seruling.”
As-Suyuthi rahimahullahu menyebutkan atsar ini dalam Ad-Durrul Mantsur (5/159) dan menyandarkannya kepada riwayat Ibnu Abi Hatim. Al-Albani berkata: “Aku belum menemukan sanadnya sehingga aku bisa melihatnya.” (At-Tahrim hal. 144)

Oleh karena itu, berkata Al-Wahidi dalam tafsirnya Al-Wasith (3/441): “Kebanyakan ahli tafsir menyebutkan bahwa makna lahwul hadits adalah nyanyian. Ahli ma’ani berkata: ‘Termasuk dalam hal ini adalah semua orang yang memilih hal yang melalaikan, nyanyian, seruling, musik, dan mendahulukannya daripada Al-Qur`an.”




Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ. وَتَضْحَكُونَ وَلاَ تَبْكُونَ

“Maka apakah kalian merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kalian menertawakan dan tidak menangis? Sedangkan kalian ber-sumud?” (An-Najm: 59-61)

Para ulama menafsirkan “kalian bersumud” maknanya adalah bernyanyi. Termasuk yang menyebutkan tafsir ini adalah:

 Ibnuq Abbas radhiyallahu 'anhuma. Beliau berkata: “Maknanya adalah nyanyian. Dahulu jika mereka mendengar Al-Qur`an, maka mereka bernyanyi dan bermain- main. Dan ini adalah bahasa penduduk Yaman (dalam riwayat lain: bahasa penduduk Himyar).” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya (27/82), Al- Baihaqi (10/223). Al-Haitsami berkata: “Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan sanadnya shahih.” (Majma’ Az-Zawa`id, 7/116)

 ‘Ikrimahq rahimahullahu. Beliau juga berkata: “Yang dimaksud adalah nyanyian, menurut bahasa Himyar.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Syaibah, 6/121)

Ada pula yang menafsirkan ayat ini dengan makna berpaling, lalai, dan yang semisalnya. Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Ini tidaklah bertentangan dengan makna ayat sebagaimana telah disebutkan, bahwa yang dimaksud sumud adalah lalai dan lupa dari sesuatu.

Al-Mubarrid mengatakan: ‘Yaitu tersibukkan dari sesuatu bersama mereka. Ibnul ‘Anbar mengatakan: ‘As-Samid artinya orang yang lalai, orang yang lupa, orang yang sombong, dan orang yang berdiri. ’ Ibnu ‘Abbas Radhiallahu'anhu berkata tentang ayat ini: ‘Yaitu kalian menyombongkan diri.’ Adh-Dhahhak berkata: ‘Sombong dan congkak.’ Mujahid berkata: ‘Marah dan berpaling.’ Yang lainnya berkata: ‘Lalai, luput, dan berpaling.’ Maka, nyanyian telah mengumpulkan semua itu dan mengantarkan kepadanya.” (Ighatsatul Lahafan, 1/258)

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Iblis:
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ وَأَجْلِبْ عَلَيْهِمْ بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكْهُمْ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَولاَدِ وَعِدْهُمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلاَّ غُرُورًا

“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” (Al-Isra`: 64)

Telah diriwayatkan dari sebagian ahli tafsir bahwa yang dimaksud “menghasung siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu” adalah melalaikan mereka dengan nyanyian. Di antara yang menyebutkan hal tersebut adalah:

 Mujahidq rahimahullahu. Beliau berkata tentang makna “dengan suaramu”: “Yaitu melalaikannya dengan nyanyian.” (Tafsir Ath-Thabari) Sebagian ahli tafsir ada yang menafsirkannya dengan makna ajakan untuk bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

 Ibnuq Jarir berkata: “Pendapat yang paling benar dalam hal ini adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengatakan kepada Iblis: ‘Dan hasunglah dari keturunan Adam siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu,’ dan Dia tidak mengkhususkan dengan suara tertentu. Sehingga setiap suara yang dapat menjadi pendorong kepadanya, kepada amalannya dan taat kepadanya, serta menyelisihi ajakan kepada ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka termasuk dalam makna suara yang Allah Subhanahu wa Ta'ala maksudkan dalam firman-Nya.” (Tafsir Ath-Thabari)

 Syaikhulq Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata tatkala menjelaskan ayat ini: “Sekelompok ulama salaf telah menafsirkannya dengan makna ‘suara nyanyian’. Hal itu mencakup suara nyanyian tersebut dan berbagai jenis suara lainnya yang menghalangi pelakunya untuk menjauh dari jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala.” (Majmu’ Fatawa, 11/641-642)

 Ibnulq Qayyim rahimahullahu berkata: “Satu hal yang telah dimaklumi bahwa nyanyian merupakan pendorong terbesar untuk melakukan kemaksiatan.” (Ighatsatul Lahafan, 1/255)


Hadits-hadits Tentang Haramnya Musik dan Lagu

  1. Hadits Abu ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Akan muncul di kalangan umatku, kaum-kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik. Dan akan ada kaum yang menuju puncak gunung kembali bersama ternak mereka, lalu ada orang miskin yang datang kepada mereka meminta satu kebutuhan, lalu mereka mengatakan: ‘Kembalilah kepada kami besok.’ Lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala membinasakan mereka di malam hari dan menghancurkan bukit tersebut. Dan Allah mengubah yang lainnya menjadi kera-kera dan babi-babi, hingga hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari, 10/5590)

Hadits ini adalah hadits yang shahih. Apa yang Al-Bukhari sebutkan dalam sanad hadits tersebut: “Hisyam bin Ammar berkata” Yang mengesankan ada keterputusan sanad antara beliau dengan Hisyam, dan tidak mengatakan dengan tegas misalnya: “Telah mengabarkan kepadaku Hisyam", tidaklah memudaratkan kesahihan hadits tersebut. Sebab Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu tidak dikenal sebagai seorang mudallis (yang menggelapkan hadits), sehingga hadits ini dihukumi bersambung sanadnya.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “(Tentang) alat-alat (musik) yang melalaikan, telah shahih apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya secara ta’liq dengan bentuk pasti (jazm), yang masuk dalam syaratnya.” (Al-Istiqamah, 1/294, Tahrim Alat Ath-Tharb, hal. 39. Lihat pula pembahasan lengkap tentang sanad hadits ini dalam Silsilah Ash- Shahihah, Al-Albani, 1/91)

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata setelah menyebutkan panjang lebar tentang keshahihan hadits ini dan membantah pendapat yang berusaha melemahkannya: “Maka barangsiapa –setelah penjelasan ini– melemahkan hadits ini, maka dia adalah orang yang sombong dan penentang. Dia termasuk dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

“Tidak masuk ke dalam surga, orang yang dalam hatinya ada kesombongan walaupun seberat semut.” (HR. Muslim) [At-Tahrim, hal. 39]

Makna hadits ini adalah akan muncul dari kalangan umat ini yang menganggap halal hal-hal tersebut, padahal itu adalah perkara yang haram. Al-‘Allamah ‘Ali Al- Qari berkata: “Maknanya adalah mereka menganggap perkara-perkara ini sebagai sesuatu yang halal dengan mendatangkan berbagai syubhat dan dalil-dalil yang lemah.” (Mirqatul Mafatih, 5/106)
2. Hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
صَوْتَانِ مَلْعُونَانِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ: مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ، وَرَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيبَةٍ

“Dua suara yang terlaknat di dunia dan akhirat: seruling ketika mendapat nikmat, dan suara (jeritan) ketika musibah.” (HR. Al-Bazzar dalam Musnad-nya, 1/377/755, Adh-Dhiya` Al-Maqdisi dalam Al-Mukhtarah, 6/188/2200, dan dishahihkan oleh Al-Albani berdasarkan penguat-penguat yang ada. Lihat Tahrim Alat Ath-Tharb, hal. 52)

Juga dikuatkan dengan riwayat Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhuma, dari Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا نُهِيْتُ عَنِ النَّوْحِ عَنْ صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ فَاجِرَيْنِ: صَوْتٍ عِنْدَ نَغْمَةِ لَهْوٍ وَلَعِبٍ وَمَزَامِيرِ شَيْطَانٍ، وَصَوْتٍ عِنْدَ مُصِيبَةٍ خَمْشِ وُجُوهٍ وَشَقِّ جُيُوبٍ وَرَنَّةِ شَيْطَانٍ

“Aku hanya dilarang dari meratap, dari dua suara yang bodoh dan fajir: Suara ketika dendangan yang melalaikan dan permainan, seruling-seruling setan, dan suara ketika musibah, mencakar wajah, merobek baju dan suara setan.” (HR. Al- Hakim, 4/40, Al-Baihaqi, 4/69, dan yang lainnya. Juga diriwayatkan At-Tirmidzi secara ringkas, no. 1005)

An-Nawawi rahimahullahu berkata tentang makna ‘suara setan’: “Yang dimaksud adalah nyanyian dan seruling.” (Tuhfatul Ahwadzi, 4/75)

3. Hadits Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيَّ -أَوْ حُرِّمَ الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْكُوبَةُ. قَالَ: وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengharamkan atasku –atau– diharamkan khamr, judi, dan al-kubah. Dan setiap yang memabukkan itu haram.” (HR. Abu Dawud no. 3696, Ahmad, 1/274, Al-Baihaqi, 10/221, Abu Ya’la dalam Musnad-nya no. 2729, dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan Al- Albani, lihat At-Tahrim hal. 56).

Kata al-kubah telah ditafsirkan oleh perawi hadits ini yang bernama ‘Ali bin Badzimah, bahwa yang dimaksud adalah gendang. (lihat riwayat Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, no. 12598)

4. Hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash Radhiallahu'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَالْغُبَيْرَاءَ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mengharamkan khamr, judi, al- kubah (gendang), dan al-ghubaira` (khamr yang terbuat dari bahan jagung), dan setiap yang memabukkan itu haram.” (HR. Abu Dawud no. 3685, Ahmad, 2/158, Al-Baihaqi, 10/221-222, dan yang lainnya. Hadits ini dihasankan Al-Albani dalam Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 58)


Atsar Ulama Salaf Tentang Haramnya Musik dan Lagu

1. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu berkata:
الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ

“Nyanyian itu menimbulkan kemunafikan dalam hati.” (Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Malahi, 4/2, Al-Baihaqi dari jalannya, 10/223, dan Syu’abul Iman, 4/5098-5099. Dishahihkan Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 10. Diriwayatkan juga secara marfu’, namun sanadnya lemah)

2. Ishaq bin Thabba` rahimahullahu berkata: Aku bertanya kepada Malik bin Anas rahimahullahu tentang sebagian penduduk Madinah yang membolehkan nyanyian. Maka beliau mejawab: “Sesungguhnya menurut kami, orang-orang yang melakukannya adalah orang yang fasiq.” (Diriwayatkan Abu Bakr Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf: 32, dan Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 244, dengan sanad yang shahih)

Beliau juga ditanya: “Orang yang memukul genderang dan berseruling, lalu dia mendengarnya dan merasakan kenikmatan, baik di jalan atau di majelis?”
Beliau menjawab: “Hendaklah dia berdiri (meninggalkan majelis) jika ia merasa enak dengannya, kecuali jika ia duduk karena ada satu kebutuhan, atau dia tidak bisa berdiri. Adapun kalau di jalan, maka hendaklah dia mundur atau maju (hingga tidak mendengarnya).” (Al-Jami’, Al-Qairawani, 262)

3. Al-Imam Al-Auza’i rahimahullahu berkata: ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu menulis sebuah surat kepada ‘Umar bin Walid yang isinya: “... Dan engkau yang menyebarkan alat musik dan seruling, (itu) adalah perbuatan bid’ah dalam Islam.” (Diriwayatkan An-Nasa`i, 2/178, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 5/270. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 120)

4. ‘Amr bin Syarahil Asy-Sya’bi rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya nyanyian itu menimbulkan kemunafikan dalam hati, seperti air yang menumbuhkan tanaman. Dan sesungguhnya berdzikir menumbuhkan iman seperti air yang menumbuhkan tanaman.” (Diriwayatkan Ibnu Nashr dalam Ta’zhim Qadr Ash- Shalah, 2/636. Dihasankan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim, hal. 148)
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abid Dunya (45), dari Al-Qasim bin Salman, dari Asy- Sya’bi, dia berkata: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala melaknat biduan dan biduanita.” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 13)

5. Ibrahim bin Al-Mundzir rahimahullahu –seorang tsiqah (tepercaya) yang berasal dari Madinah, salah seorang guru Al-Imam Al-Bukhari Rahimahullah– ditanya: “Apakah engkau membolehkan nyanyian?” Beliau menjawab: “Aku berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak ada yang melakukannya menurut kami kecuali orang-orang fasiq.” (Diriwayatkan Al-Khallal dengan sanad yang shahih, lihat At-Tahrim hal. 100)

6. Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata: “Para tokoh dari murid-murid Al-Imam Asy- Syafi’i rahimahullahu mengingkari nyanyian. Para pendahulu mereka, tidak diketahui ada perselisihan di antara mereka. Sementara para pembesar orang- orang belakangan, juga mengingkari hal tersebut. Di antara mereka adalah Abuth Thayyib Ath-Thabari, yang memiliki kitab yang dikarang khusus tentang tercela dan terlarangnya nyanyian.

Lalu beliau berkata: “Ini adalah ucapan para ulama Syafi’iyyah dan orang yang taat di antara mereka. Sesungguhnya yang memberi keringanan dalam hal tersebut dari mereka adalah orang-orang yang sedikit ilmunya serta didominasi oleh hawa nafsunya. Para fuqaha dari sahabat kami (para pengikut mazhab Hambali) menyatakan: ‘Tidak diterima persaksian seorang biduan dan para penari.’ Wallahul muwaffiq.” (Talbis Iblis, hal. 283-284)

7. Ibnu Abdil Barr rahimahullahu berkata: “Termasuk hasil usaha yang disepakati keharamannya adalah riba, upah para pelacur, sogokan (suap), mengambil upah atas meratapi (mayit), nyanyian, perdukunan, mengaku mengetahui perkara gaib dan berita langit, hasil seruling dan segala permainan batil.” (Al-Kafi hal. 191)

8. Ath-Thabari rahimahullahu berkata: “Telah sepakat para ulama di berbagai negeri tentang dibenci dan terlarangnya nyanyian.” (Tafsir Al-Qurthubi, 14/56)

9. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Mazhab empat imam menyatakan bahwa alat-alat musik semuanya haram.” Lalu beliau menyebutkan hadits riwayat Al-Bukhari rahimahullahu di atas. (Majmu’ Fatawa, 11/576)

Masih banyak lagi pernyataan para ulama yang menjelaskan tentang haramnya musik beserta nyanyian. Semoga apa yang kami sebutkan ini sudah cukup menjelaskan perkara ini.
kalangan aktivis pergerakan Islam, nasyid menjadi alternatif dari “cara bermusik”. Mereka berkukuh bahwa selama tidak mengandung hal-hal yang dilarang dalam syariat, hal itu diperbolehkan bahkan bisa menjadi sarana “dakwah”. Mereka seakan lupa, nasyid mereka hampir tak ada bedanya dengan lagu kecuali pada syair. Syairnya pun -meski kadang berbahasa Arab- bahkan kerap mengandung kesyirikan dan kebid’ahan.

Belakangan, berkembang di kalangan muslimin satu jenis hiburan yang dikenal dengan nasyid Islami. Nasyid ini dianggap sebagai alternatif pengganti lagu dan musik yang didendangkan oleh para penyanyi umumnya. Masing-masing dari kelompok nasyid tersebut menggunakan bermacam variasi dalam menampilkan nasyidnya. Ada yang disertai rebana saja, yang kadang disertai dengan tepukan tangan atau alat-alat tertentu, lalu dinyanyikan oleh orang yang bersuara merdu atau secara berkelompok. Ada pula yang meluas, dengan menggunakan semua alat musik yang digunakan oleh para pelantun lagu-lagu yang tidak senonoh. Bahkan ada yang tidak berbeda antara lagu-lagu tersebut dengan apa yang dinamakan nasyid Islami kecuali syairnya saja. Adapun irama, musik dan lantunannya, tidak ada perbedaan.

Bila merunut sejarah, kita tidak mengetahui dalam sejarah kaum muslimin cara berdakwah menggunakan sarana-sarana seperti ini, kecuali dari kelompok Shufiyyah (Sufi) yang dikenal gemar membuat bid’ah dan menganggap baik hal- hal yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya Radhiallahum. Sehingga sebagian ulama menghukumi mereka dengan zindiq.

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Aku meninggalkan Irak, dengan munculnya sesuatu yang disebut at-taghbir yang dibuat oleh kaum zindiq. Mereka memalingkan manusia dari Al-Qur`an.” (Diriwayatkan oleh Al-Khallal dalam Al- Amru bil Ma’ruf hal. 36, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 9/146. Al-Albani berkata: “Sanadnya shahih. Ibnul Qayyim rahimahullahu menyebutkan dalam Ighatsatul Lahafan (1/229), bahwa penukilan dari Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu adalah mutawatir.” Lihat At-Tahrim hal. 163)

Al-Imam Ahmad rahimahullahu ditanya tentangnya. Beliau menjawab: “Itu adalah bid’ah.” Lalu beliau ditanya: “Bolehkah kami duduk bersama mereka?” Beliau menjawab: “Jangan.” (Majmu’ Fatawa, 11/569)

Abu Dawud rahimahullahu berkata: “Hal itu (ucapan Al-Imam Ahmad rahimahullahu) tidak mengherankan bagiku.” (Al-Inshaf, Al-Mardawi, 8/343)

At-Taghbir adalah bait-bait syair yang mengajak bersikap zuhud terhadap dunia, dilantunkan oleh seorang penyanyi. Sebagian yang hadir kemudian memukulkan potongan ranting di atas hamparan tikar atau bantal, disesuaikan dengan lantunan lagunya itu.

Dari sini, nampaklah bahwa apa yang diistilahkan dengan nasyid Islami tidak lain adalah bid’ah yang telah dimunculkan oleh kaum Shufiyah, lalu diberi polesan ‘Islami’ agar diterima oleh masyarakat yang tidak mengerti hakikat bid’ah ini. Seperti halnya kebatilan-kebatilan lain yang disandarkan kepada Islam, musik Islami, pacaran Islami, demokrasi Islami, demonstrasi Islami, atau embel-embel Islami yang lainnya. Namun, alhamdulillah, syariat yang mulia ini telah mengajari kita untuk tidak memandang sesuatu hanya sekadar melihat namanya. Yang terpenting adalah hakikat dari apa yang terkandung di balik nama tersebut.
Maka, sebagai nasihat bagi kaum muslimin, kami sebutkan beberapa fatwa para ulama seputar hukum perkara yang disebut dengan nasyid Islami ini.


Fenomena Nasyid

Bagi kalangan aktivis pergerakan Islam, nasyid menjadi alternatif dari “cara bermusik”. Mereka berkukuh bahwa selama tidak mengandung hal-hal yang dilarang dalam syariat, hal itu diperbolehkan bahkan bisa menjadi sarana “dakwah”. Mereka seakan lupa, nasyid mereka hampir tak ada bedanya dengan lagu kecuali pada syair. Syairnya pun -meski kadang berbahasa Arab- bahkan kerap mengandung kesyirikan dan kebid’ahan.

Belakangan, berkembang di kalangan muslimin satu jenis hiburan yang dikenal dengan nasyid Islami. Nasyid ini dianggap sebagai alternatif pengganti lagu dan musik yang didendangkan oleh para penyanyi umumnya. Masing-masing dari kelompok nasyid tersebut menggunakan bermacam variasi dalam menampilkan nasyidnya. Ada yang disertai rebana saja, yang kadang disertai dengan tepukan tangan atau alat-alat tertentu, lalu dinyanyikan oleh orang yang bersuara merdu atau secara berkelompok. Ada pula yang meluas, dengan menggunakan semua alat musik yang digunakan oleh para pelantun lagu-lagu yang tidak senonoh. Bahkan ada yang tidak berbeda antara lagu-lagu tersebut dengan apa yang dinamakan nasyid Islami kecuali syairnya saja. Adapun irama, musik dan lantunannya, tidak ada perbedaan.

Bila merunut sejarah, kita tidak mengetahui dalam sejarah kaum muslimin cara berdakwah menggunakan sarana-sarana seperti ini, kecuali dari kelompok Shufiyyah (Sufi) yang dikenal gemar membuat bid’ah dan menganggap baik hal- hal yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya Radhiallahum. Sehingga sebagian ulama menghukumi mereka dengan zindiq.

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Aku meninggalkan Irak, dengan munculnya sesuatu yang disebut at-taghbir yang dibuat oleh kaum zindiq. Mereka memalingkan manusia dari Al-Qur`an.” (Diriwayatkan oleh Al-Khallal dalam Al- Amru bil Ma’ruf hal. 36, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 9/146. Al-Albani berkata: “Sanadnya shahih. Ibnul Qayyim rahimahullahu menyebutkan dalam Ighatsatul Lahafan (1/229), bahwa penukilan dari Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu adalah mutawatir.” Lihat At-Tahrim hal. 163)

Al-Imam Ahmad rahimahullahu ditanya tentangnya. Beliau menjawab: “Itu adalah bid’ah.” Lalu beliau ditanya: “Bolehkah kami duduk bersama mereka?” Beliau menjawab: “Jangan.” (Majmu’ Fatawa, 11/569)

Abu Dawud rahimahullahu berkata: “Hal itu (ucapan Al-Imam Ahmad rahimahullahu) tidak mengherankan bagiku.” (Al-Inshaf, Al-Mardawi, 8/343)

At-Taghbir adalah bait-bait syair yang mengajak bersikap zuhud terhadap dunia, dilantunkan oleh seorang penyanyi. Sebagian yang hadir kemudian memukulkan potongan ranting di atas hamparan tikar atau bantal, disesuaikan dengan lantunan lagunya itu.

Dari sini, nampaklah bahwa apa yang diistilahkan dengan nasyid Islami tidak lain adalah bid’ah yang telah dimunculkan oleh kaum Shufiyah, lalu diberi polesan ‘Islami’ agar diterima oleh masyarakat yang tidak mengerti hakikat bid’ah ini. Seperti halnya kebatilan-kebatilan lain yang disandarkan kepada Islam, musik Islami, pacaran Islami, demokrasi Islami, demonstrasi Islami, atau embel-embel Islami yang lainnya. Namun, alhamdulillah, syariat yang mulia ini telah mengajari kita untuk tidak memandang sesuatu hanya sekadar melihat namanya. Yang terpenting adalah hakikat dari apa yang terkandung di balik nama tersebut.
Maka, sebagai nasihat bagi kaum muslimin, kami sebutkan beberapa fatwa para ulama seputar hukum perkara yang disebut dengan nasyid Islami ini.


Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Syaikhul Islam ditanya tentang sekelompok orang yang bergabung untuk melakukan berbagai dosa besar seperti pembunuhan, perampokan, pencurian, minum khamr, dan yang lainnya. Kemudian salah seorang di antara Syaikh yang dikenal memiliki kebaikan dan mengikuti As-Sunnah ingin mencegah mereka dari hal tersebut. Namun tidak memungkinkan baginya melakukan hal itu kecuali dengan cara membuat sebuah sama’ (nasyid) untuk mereka, di mana mereka berkumpul padanya dengan niat ini. Sama’ ini menggunakan rebana tanpa alat gemerincing, dan nyanyian seorang penyanyi dengan syair-syair yang diperbolehkan tanpa menggunakan seruling.

Tatkala dilakukan cara ini, di antara kelompok tersebut ada yang bertaubat. Dan orang yang sebelumnya tidak shalat, suka mencuri dan tidak berzakat, menjadi berhati-hati dari syubhat dan mengerjakan kewajiban, serta menjauhi perkara yang diharamkan. Maka apakah dibolehkan nasyid yang dibuat Syaikh ini dengan cara tersebut, karena memberi dampak kemaslahatan? Dalam keadaan tidak memungkinkan mendakwahi mereka kecuali dengan cara ini.

Beliau rahimahullahu menjawab dengan panjang lebar. Di antara yang beliau katakan:
“Sesungguhnya Syaikh tersebut ingin membuat kelompok yang hendak melakukan berbagai dosa besar itu bertaubat. Namun tidak memungkinkan baginya hal itu kecuali dengan cara yang disebutkan, berupa metode yang bid’ah. Ini menunjukkan bahwa Syaikh tersebut jahil (tidak tahu) tentang metode-metode syar’i yang menyebabkan para pelaku maksiat bertaubat, atau tidak mampu melakukannya. Karena sesungguhnya Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat dan tabi’in, mendakwahi orang yang lebih buruk dari mereka yang disebutkan ini, dari kalangan orang-orang kafir, fasiq dan pelaku maksiat, dengan cara-cara yang syar’i. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berikan kecukupan kepada mereka dengan cara itu dari berbagai cara-cara bid’ah.

Tidak boleh dikatakan bahwa tidak ada cara syar’i yang Allah Subhanahu wa Ta'ala utus Nabi-Nya dengannya, yang dapat menjadikan para pelaku maksiat bertaubat. Sebab telah diketahui secara pasti dan penukilan yang mutawatir bahwa orang-orang, yang tidak ada yang mampu menghitung jumlahnya kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala, telah bertaubat dari kekafiran, kefasikan, kemaksiatan. Tidak disebutkan padanya berkumpul dengan cara bid’ah sebagaimana yang dilakukan. Bahkan, orang-orang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta yang mengikuti mereka dengan kebaikan –dan mereka adalah para wali Allah Subhanahu wa Ta'ala yang bertakwa dari kalangan umat ini– telah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan cara-cara yang syar’i.” (Majmu’ Fatawa, 11/624-625)

Fatwa Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
Dalam kitabnya Tahrim Alat Ath-Tharb (hal. 181), setelah beliau menyebutkan hukum nyanyian dan musik, beliau, Syaikh Al Albani  berkata:
“Masih tersisa bagiku kalimat terakhir, yang dengannya aku menutup risalah yang bermanfaat ini –insya Allah Subhanahu wa Ta'ala–. Yaitu seputar apa yang mereka sebut dengan istilah nasyid Islami atau nasyid agamis.

Maka aku mengatakan: Telah jelas pada pasal ketujuh tentang syair-syair yang boleh didendangkan dan yang tidak diperbolehkan. Sebagaimana pula telah jelas sebelumnya tentang haramnya seluruh alat musik, kecuali duf (rebana/gendang yang terbuka bagian bawahnya) pada hari raya dan pesta pernikahan, untuk para wanita. Dari pasal terakhir ini, kami jelaskan bahwa tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala kecuali dengan apa yang disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apalagi mendekatkan diri kepada-Nya dengan sesuatu yang diharamkan! Karena itulah, para ulama mengharamkan nyanyian kaum Shufiyyah. Dan pengingkaran mereka sangat keras terhadap orang-orang yang menganggapnya halal. Apabila seorang pembaca menghadirkan dalam benaknya prinsip-prinsip yang kokoh ini, akan jelas baginya dengan sejelas-jelasnya, bahwa tidak ada perbedaan dari sisi hukum antara nyanyian kaum Shufi dengan nasyid Islami.

Bahkan pada nasyid Islami terdapat hal negatif lainnya. Yaitu terkadang nasyid tersebut didendangkan seperti lantunan nyanyian-nyanyian yang tidak punya rasa malu. Dan nasyid itu dibuat dengan merujuk gaya musik ala timur ataupun ala barat, yang membuat girang para pendengarnya, membuat mereka berjoget, serta membenamkan alam sadar mereka. Sehingga, yang menjadi tujuan utamanya adalah lantunan dan kegembiraan, bukan hanya sekadar nasyid. Ini adalah bentuk penyelisihan baru, yaitu tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak punya rasa malu. Muncul pula anak penyimpangan lainnya, yaitu tasyabbuh dengan mereka dalam hal berpaling dari Al-Qur`an dan meninggalkannya. Sehingga mereka termasuk dalam keumuman sesuatu yang dikeluhkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari kaumnya, sebagaimana yang terdapat dalam firman-Nya:
وَقَالَ الرَّسُولُ يَارَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْءَانَ مَهْجُورًا

“Berkatalah Rasul: ‘Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur`an ini suatu yang tidak diacuhkan.” (Al-Furqan: 30)

Sesungguhnya aku benar-benar mengingat bahwa tatkala aku berada di Damaskus –dua tahun sebelum aku berhijrah ke sini (Amman)– sebagian pemuda muslim mulai bernyanyi dengan nasyid yang maknanya masih selamat (dari penyimpangan), dengan tujuan menyaingi nyanyian kaum Shufiyyah, seperti qashidah Al-Bushiri dan yang lainnya. Nasyid tersebut terekam di kaset.
Tidak berapa lama kemudian, nasyid tersebut sudah dibarengi pukulan rebana! Mulanya, mereka menggunakannya pada acara-acara pesta pernikahan, dengan alasan bahwa menggunakan rebana pada acara tersebut boleh. Kemudian kaset tersebut menyebar dan dikopi menjadi beberapa kaset salinan. Tersebarlah penggunaannya di sekian banyak rumah. Merekapun menyimaknya siang malam, baik dalam sebuah acara tertentu ataupun tidak. Dan hal tersebut menjadi hiburan mereka!

Keadaan ini tidak terjadi melainkan karena hawa nafsu yang mendominasi dan kebodohan terhadap tipu daya setan. Sehingga hal itu memalingkan mereka dari perhatian terhadap Al-Qur`an dan mendengarnya, apalagi mempelajarinya. Al- Qur`an pun menjadi sesuatu yang ditinggalkan, sebagaimana yang disebut dalam ayat yang mulia tersebut. Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata dalam tafsirnya (3/317): “Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman mengabarkan tentang Rasul dan Nabi-Nya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa ia berkata:
وَقَالَ الرَّسُولُ يَارَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْءَانَ مَهْجُورًا

“Berkatalah Rasul: ‘Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur`an ini sesuatu yang tidak diacuhkan.” (Al-Furqan: 30)

Hal itu karena orang-orang musyrik tidak mau mendengar Al-Qur`an dan menyimaknya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لاَ تَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْءَانِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ

“Dan orang-orang yang kafir berkata: ‘Janganlah kamu mendengar Al-Qur`an ini dengan sungguh-sungguh dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan (mereka)’.” (Fushshilat: 26)

Adalah jika dibacakan Al-Qur`an kepada mereka, mereka gaduh dan memperbanyak percakapan pada perkara yang lain, sehingga mereka tidak mendengarnya. Hal ini termasuk meninggalkannya. Tidak beriman dengannya dan tidak membenarkannya termasuk mengabaikan Al-Qur`an. Tidak mentadabburi dan memahaminya termasuk mengabaikannya. Tidak beramal dengannya, tidak melaksanakan perintahnya dan tidak menjauhi larangannya termasuk mengabaikannya. Berpaling darinya menuju kepada selainnya berupa syair, perkataan, nyanyian, atau yang melalaikan, atau sebuah ucapan atau satu metode yang diambil dari selainnya, termasuk mengabaikannya. Kami memohon kepada Allah Yang Maha Mulia, Yang Maha Pemberi Anugerah, Maha Kuasa atas segala apa yang Dia inginkan, agar menghindarkan kita dari kemurkaan-Nya, dan mengantarkan kita menuju apa yang diridhai-Nya berupa menghafal kitab-Nya dan memahaminya, serta melaksanakan kandungannya, baik di malam maupun siang hari, dengan cara yang dicintai-Nya dan diridhai-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mulia dan Maha Pemberi.” (Tahrim Alat Ath-Tharb, hal. 181-182)

Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullahu ditanya: “Saya pernah mendengar sebagian nasyid Islami dan di dalamnya terdapat lantunan-lantunan yang menyerupai nyanyian. Tanpa musik, namun disertai suara yang indah. Bagaimanakah hukumnya? Sebagai pengetahuan, ada sebagian ikhwan yang tidak senang dengannya dan mengatakan bahwa hal itu termasuk amalan kaum Shufiyyah. Aku berharap dari Syaikh yang mulia untuk memberi jawaban.”

Beliau menjawab setelah mengucapkan hamdalah dan shalawat kepada Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam:
“Nasyid-nasyid yang ditanyakan oleh penanya ini, yang dinamakan dengan nasyid Islami, di dalamnya terdapat sebagian perkara yang terlarang. Di antaranya, nasyid tersebut dilantunkan seperti nyanyian para biduan, yang bernyanyi dengan nyanyian-nyanyian tidak senonoh. Kemudian, nasyid itu dilantunkan dengan suara yang indah dan merdu. Bahkan terkadang dibarengi dengan tepuk tangan, atau memukul piring dan yang semisalnya.
Adapun yang disebutkan dalam pertanyaan, yaitu tidak ada tepuk tangan dan pukulan piring atau yang semisalnya, dan si penanya berkata bahwa ia dilantunkan seperti nyanyian yang tidak senonoh, dengan suara yang indah dan merdu. Maka, kami berpandangan agar nasyid seperti ini tidak didengarkan, karena dapat menimbulkan fitnah dan menyerupai lantunan nyanyian para biduan yang tidak punya rasa malu.
Tentunya, yang lebih baik dari itu ialah mendengarkan nasihat-nasihat yang bermanfaat, yang diambil dari Kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta perkataan para sahabat dan para imam dari kalangan ahli ilmu dan agama. Karena, di dalamnya sudah terdapat kecukupan dan kepuasan dari yang lainnya.
Jika seseorang terbiasa tidak mengambil sesuatu sebagai nasihat kecuali dengan cara tertentu, seperti lantunan nyanyian, hal itu akan menyebabkan dia tidak dapat mengambil manfaat dengan nasihat-nasihat yang lain. Sebab jiwanya telah terbiasa mengambil nasihat hanya dengan cara ini. Hal ini sangat berbahaya, bahkan dapat menyebabkan seseorang bersikap zuhud (tidak butuh) terhadap nasihat Al-Qur`an yang mulia dan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta perkataan para ulama dan imam.” (diterjemahkan dari kaset Nur ‘Alad Darb, kaset no. 258, bagian kedua)

Fatwa Al-’Allamah Hamud bin Abdillah At-Tuwaijiri

Syaikh Hamud bin Abdillah At Tuwaijiri berkata : “Sesungguhnya, sebagian nasyid yang banyak dilantunkan para pelajar di berbagai acara dan tempat pada musim panas, yang mereka namakan dengan nasyid-nasyid Islami, bukanlah dari Islam. Sebab, hal itu telah dicampuri dengan nyanyian, melodi, dan membuat girang yang membangkitkan (gairah) para pelantun nasyid dan pendengarnya. Juga mendorong mereka untuk bergoyang serta memalingkan mereka dari dzikrullah, bacaan Al-Qur`an, mentadabburi ayat-ayatnya, dan mengingat apa- apa yang disebut di dalamnya berupa janji, ancaman, berita para nabi dan umat- umat mereka, serta hal-hal lain yang bermanfaat bagi orang yang mentadabburinya dengan sebenar-benar tadabbur, mengamalkan kandungannya, dan menjauhi larangan-larangan yang disebutkan di dalamnya, dengan mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala, dari ilmu dan amalannya.” (Iqamatud Dalil ‘Alal Man’i Minal Anasyid Al-Mulahhanah wat Tamtsil hal. 6, dari situs sahab.net)

“Barangsiapa mengqiyaskan nasyid-nasyid yang dilantunkan dengan lantunan nyanyian, dengan syair-syair para sahabat radhiyallahu 'anhum tatkala mereka membangun Masjid Nabawi, menggali parit Khandaq, atau mengqiyaskan dengan syair perjalanan yang biasa diucapkan para sahabat untuk memberi semangat kepada untanya di waktu safar, maka ini adalah qiyas yang batil. Sebab para sahabat radhiyallahu 'anhum tidak pernah bernyanyi dengan syair-syair tersebut dan menggunakan lantunan-lantunan yang membuat girang, yang membangkitkan para pelantun nasyid dan pendengarnya, seperti yang dilakukan oleh sebagian pelajar di berbagai acara dan tempat pada musim panas. Namun para sahabat Radhiallahu'anhum hanya mencukupkan melantunkan syair-syair tersebut dengan mengangkat suara. Tidak disebutkan bahwa mereka berkumpul untuk melantunkan nasyid dengan satu suara, seperti yang dilakukan para pelajar di zaman kita.

Kebaikan yang hakiki adalah mengikuti apa yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya Radhiallahu'anhu. Kejahatan yang sesungguhnya adalah dengan menyelisihi mereka, lalu mengambil perkara-perkara baru yang bukan dari bimbingan mereka, serta tidak dikenal pada zaman mereka.

Semua itu berasal dari bid’ah kaum Shufiyyah, yang menjadikan agama mereka sebagai permainan serta hal yang melalaikan. Telah diriwayatkan tentang bahwa mereka berkumpul untuk melantunkan nasyid dengan irama secara berlebih- lebihan serta melampaui batas dalam menjunjung Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka berkumpul untuk melakukan hal itu dan menamakannya dengan dzikir, padahal pada hakikatnya merupakan olok-olokan terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala dan dzikir-Nya. Dan siapapun yang menjadikan kaum Shufi yang sesat sebagai pendahulu dan panutan, maka itu adalah seburuk-buruk teladan yang telah mereka pilih untuk diri-diri mereka.” (ibid, hal. 7-8)

Beliau juga berkata: “Sesungguhnya, penamaan nasyid-nasyid yang dilantunkan dengan nyanyian sebagai nasyid Islami, menyebabkan timbulnya perkara-perkara jelek dan berbahaya. Di antaranya:

1. Menjadikan bid’ah ini sebagai bagian ajaran Islam dan penyempurnanya. Ini mengandung unsur penambahan terhadap syariat Islam, sekaligus pernyataan bahwa syariat Islam belum sempurna di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” (Al-Ma`idah: 3)

Ayat yang mulia ini merupakan nash yang menunjukkan kesempurnaan agama Islam bagi umat ini. Sehingga, pernyataan bahwa nasyid yang berlirik (lagu) tersebut sebagai Islami, mengandung unsur penentangan terhadap nash ini, dengan menyandarkan nasyid-nasyid yang bukan dari ajaran Islam kepada Islam dan menjadikannya sebagai bagian darinya.

2. Menisbahkan kekurangan kepada Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menyampaikan dan menjelaskan kepada umatnya. Di mana beliau tidak menganjurkan mereka melantunkan nasyid secara berjamaah dengan lirik lagu. Tidak pula beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan kepada mereka bahwa itu adalah nasyid Islami.

3. Menisbahkan kepada Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya Radhiallahu'anhu bahwa mereka telah menelantarkan salah satu perkara Islam dan tidak mengamalkannya.

4. Menganggap baik bid’ah nasyid yang dilantunkan dengan irama nyanyian, dan memasukkannya sebagai perkara Islam. Telah disebutkan oleh Asy-Syathibi dalam Al-I’tisham apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Habib dari Ibnul Majisyun, dia berkata: “Aku mendengar Malik (bin Anas) berkata: ‘Barangsiapa berbuat bid’ah di dalam Islam dan ia menganggapnya baik, maka sungguh dia telah menganggap bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah. Sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” (Al-Ma`idah: 3)

Maka, apa yang pada masa itu tidak menjadi agama, maka pada hari inipun tidak menjadi agama.” (ibid, hal. 11)


Fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan menyebutkan dalam kitabnya Al-Khuthab Al- Minbariyyah (3/184-185):
“Di antara yang perlu menjadi perhatian adalah apa yang banyak beredar di antara para pemuda yang semangat menjalankan agama, berupa kaset-kaset yang terekam padanya nasyid-nasyid, dengan suara berjamaah, yang mereka namakan nasyid Islami. Ini adalah salah satu jenis nyanyian. Terkadang disertai suara yang menimbulkan fitnah, dan dijual di beberapa toko/studio bersama dengan kaset rekaman Al-Qur`an Al-Karim serta ceramah-ceramah agama.
Penamaan nasyid-nasyid ini dengan nasyid Islami adalah pemberian nama yang keliru. Sebab Islam tidak pernah mensyariatkan nasyid kepada kita. Islam hanya mensyariatkan kepada kita berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, membaca Al-Qur`an, dan mempelajari ilmu yang bermanfaat. Adapun nasyid- nasyid tersebut, hal itu berasal dari agama kelompok bid’ah Shufiyyah, yang menjadikan agama mereka sebagai permainan dan hal yang melalaikan. Menjadikan nasyid sebagai agama adalah menyerupai kaum Nasrani, yang menjadikan bernyanyi secara berjamaah dan lantunan yang membuat orang bergoyang sebagai agama mereka.

Tindakan yang wajib adalah berhati-hati dari nasyid-nasyid ini, dan melarang penjualan serta peredarannya, untuk mencegah akibat buruk yang ditimbulkannya, berupa fitnah dan semangat yang tidak terkontrol, serta mengadu domba di kalangan kaum muslimin.” (As`ilah ‘an Al-Manahij Al-Jadidah, Jamal bin Furaihan Al-Haritsi, hal. 20-21)

Perbedaan Nasyid Dengan Syair di Zaman Shahabat Radhiallahu'anhum
Mereka mendendangkan syair-syair mereka pada waktu tertentu, seperti ketika safar (yang disebut dengan hida’), dengan tujuan mengusir rasa kantuk. Atau tatkala melakukan satu pekerjaan yang cukup berat, seperti membangun rumah, parit, dan yang semisalnya (yang disebut rajz). Sedangkan nasyid Islami menjadi hiburan di setiap waktu, dengan alasan sebagai alternatif pengganti lagu-lagu cabul dan tidak punya rasa malu. Sa’id bin Al-Musayyab rahimahullahu berkata:
إِنِّي لَأَبْغَضُ الْغِنَاءَ وَأُحِبُّ الرَّجْزَ

“Sesungguhnya aku membenci nyanyian dan menyukai rajz.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 11/19743. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 279)

q Syair-syair yang mereka lantunkan tersebut diistilahkan dengan nasyid kaum Arab, bukan nasyid Islami.

 Tujuanq mereka melantunkan bait-bait syair tersebut adalah untuk meringankan beban yang sedang mereka alami, dari keletihan di waktu safar atau bekerja keras. Sedangkan nasyid Islami dibuat dengan tujuan sebagai ‘sarana dakwah’. Agar orang yang mendengarnya menjadi sadar dari perbuatan maksiat yang dia lakukan, sebagaimana fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu yang telah lalu. Atau dengan alasan sebagai alternatif pengganti lagu-lagu cabul.

 Lantunanq syair mereka tidak mendorong untuk bergoyang dan melenggak- lenggokkan badan, berbeda dengan yang disebut nasyid Islami.

 Lantunanq syair-syair mereka tidak diiringi alat musik. Sedangkan apa yang disebut nasyid Islami, mayoritasnya disertai dengan alat musik.

 Lantunanq syair mereka tidak disertai dengan notasi (do-re-mi) seperti halnya nyanyian. Berbeda dengan yang disebut nasyid Islami yang menggunakan notasi nyanyian, dengan lirik yang sama seperti nyanyian secara umum. Bahkan di antara nasyid tersebut ada yang tidak memiliki perbedaan sama sekali dengan lagu-lagu cabul, kecuali gubahannya saja. Adapun lirik dan lantunannya sama persis, tidak berbeda.

 Merekaq melantunkan syair-syair tersebut secara individu, bukan berjamaah. Tidak seperti yang mereka namakan nasyid Islami. (Lihat kitabal Bayan li Akhtha` Ba’dhil Kuttab, Asy-Syaikh Shalih Fauzan hal. 341, kitab At-Tahrim, Al-Albani hal. 101)

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa membimbing kita untuk mengenal al-haq dan mengikutinya, dan memperlihatkan kepada kita kebatilan agar kita dapat menjauhkan diri darinya.

Wallahu a’lam bish-shawab.

‘Bernyanyi’ tanpa alat musik memang pernah dilakukan para sahabat. Namun apa yang mereka praktikkan amat berbeda dengan cara bernyanyi di masa sekarang.

Pada asalnya, nyanyian itu berasal dari lantunan bait-bait syair yang menerangkan tentang sesuatu. Sehingga tidak benar jika kita menyebutkan bahwa nyanyian itu haram secara mutlak, tidak pula dinyatakan boleh secara mutlak. Oleh karenanya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ مِنَ الشِّعْرِ حِكْمَةً

“Sesungguhnya di antara syair ada hikmahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5793)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tatkala ditanya tentang syair: “Itu adalah ucapan. Yang baiknya adalah baik dan yang jeleknya adalah jelek.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dihasankan Al-Albani dalam Ash- Shahihah, 1/447)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu memberikan beberapa syarat bolehnya nyanyian/nasyid:
1. Bait-bait syairnya diperbolehkan dan bukan hal yang terlarang.
2. Tidak dilantunkan seperti lantunan nyanyian yang rendah dan hina.
3. Tidak dengan suara yang menimbulkan fitnah.
4. Tidak dijadikan sebagai kebiasaan siang dan malam.
5. Tidak menjadikannya sebagai satu-satunya nasihat untuk hatinya, sehingga memalingkannya dari nasihat Al-Qur`an dan As-Sunnah.

Jika tidak terpenuhi salah satu dari syarat-syarat ini, maka hendaklah ditinggalkan. (Kaset Nur ‘Alad Darb, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, no. 337, side A)

Oleh karena itu, para ulama membolehkan nyanyian orang-orang yang berangkat haji di saat mereka menghibur perjalanan mereka, nyanyian orang-orang yang berperang untuk memberi semangat jihad, nyanyian para musafir, dan yang semisalnya. Namun mereka melantunkan bait syair tersebut tidak dengan cara lantunan lagu yang biasanya disertai musik.

Asy-Syathibi rahimahullahu menjelaskan apa yang dahulu dilakukan mereka (Al- I’tisham, 1/368): “Orang-orang Arab dahulu tidak mengenal cara memperindah lantunan seperti apa yang dilakukan manusia pada hari ini. Mereka melantunkan syair secara mutlak, tanpa mempelajari notasi yang muncul setelahnya. Mereka melembutkan suara dan memanjangkannya, sesuai kebiasaan kaum Arab yang ummi yang tidak mengetahui alunan musik. Sehingga tidak menimbulkan keterlenaan dan membuat bergoyang yang melenakan. Hal itu hanyalah sesuatu yang membangkitkan semangat. Sebagaimana Abdullah bin Rawahah melantunkan bait-bait syairnya di hadapan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga ketika kaum Anshar melantunkannya ketika menggali galian Khandaq:
نَحْنُ الَّذِينَ بَايَعُوا مُحَمَّدًا
عَلىَ الْجِهَادِ مَا حَيِينَا أَبَدًا

Kamilah yang membai’at Muhammad
Untuk berjihad selamanya selama kami masih hidup

Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawabnya:


اللَّهُمَّ لَا خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُ الْآخِرَةِ
فَاغْفِرْ لِلْأَنْصَارِ وَالْـمُهَاجِرَةِ

Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan akhirat
Ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin (HR. Al-Bukhari no. 2680)

Perbedaan Rebana dan genderang

Rebana (duf) adalah alat musik yang menyerupai genderang (thabl). Hanya saja thabl adalah yang tertutup dengan kulit dari dua arah atau dari satu arah. Sedangkan duf terbuat dari kayu yang ditutup dengan kulit dari satu arah, terkadang pada lubang-lubang bagian pinggirnya diberi sesuatu yang mengeluarkan bunyi gemerincing. (Al-Qaulur Rasyid fi Hukmil Ma’azif wal Ghina` wan Nasyid, Abu Karimah hal. 19)

Menabuh Rebana Khusus bagi Wanita

Hadits-hadits tersebut di atas menjelaskan bahwa yang dibolehkan memukul rebana adalah para wanita. Al-Hulaimi berkata dalam Syu’abul Iman (4/283): “Memukul rebana tidak dihalalkan kecuali untuk para wanita, sebab pada asalnya itu termasuk dari amalan mereka. Sungguh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Hadits-hadits yang kuat menunjukkan diizinkannya untuk para wanita, dan tidak diqiyaskan kepada para lelaki, berdasarkan keumuman larangan dari menyerupai para wanita.” (Fathul Bari, 9/134)

Hadits Thala’al Badru

Adapun hadits yang diriwayatkan bahwa tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah, lalu anak-anak dan para wanita mendendangkan syair:
طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا مِنْ ثَنِيَّاتِ الْوَدَاعِ
وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا مَا دَعَا لِلهِ دَاعِ

Bulan purnama telah nampak di hadapan kami
dari Tsaniyyatul Wada’
Wajib bagi kami bersyukur
pada seorang penyeru yang berseru karena Allah

Ini adalah hadits yang lemah. Sanadnya mu’dhal, telah terjatuh tiga atau lebih perawinya. Silahkan dilihat rincian bahasannya dalam Silsilah Adh-Dha’ifah, karya Al-Albani (2/598), dan kitab At-Tahrim (hal. 123).


Musik Sebagai Ringtone

Sebagian kaum muslimin juga tidak menyadari bahwa yang termasuk musik adalah menjadikan nada dan lantunan musik serta lagu sebagai ringtone (nada dering) di ponsel. Hal ini termasuk dalam keumuman larangan musik yang telah kita bahas.

Sebagai gantinya, hendaklah menggunakan bunyi-bunyi yang tidak mengandung unsur musik dan nyanyian, seperti suara burung, ayam berkokok, atau yang semisalnya. Juga diperbolehkan menggunakan jenis bel tertentu yang tidak menyerupai bel gereja, seperti bunyi kring kring yang biasa terdapat di telepon rumah (zaman dahulu), atau yang semisalnya yang tidak bernada musik. Wallahu a’lam. (lihat pembahasan tentang bel dalam kitab Jilbab Al-Mar`ah Al-Muslimah, Al-Albani hal. 169)

Bernyanyi dan Menabuh Rebana di Waktu Acara Pernikahan



Pada momen atau keadaan tertentu, bernyanyi dan menggunakan alat musik tertentu memang diperkenankan. Namun demikian hal itu tidak lantas dijadikan dalil untuk membolehkan seluruh jenis alat musik pada seluruh jenis keadaan.

Setelah kita mengetahui nash-nash tentang haramnya musik secara umum, perlu diketahui pula beberapa keadaan yang dikecualikan. Di antaranya:

Bernyanyi Menabuh Rebana di Waktu Acara Pernikahan
Dalam hadits Rubayyi’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afra` radhiyallahu 'anha, dia berkata:
جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ حِيْنَ بُنِيَ عَلَيَّ فَجَلَسَ عَلىَ فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي فَجَعَلَتْ جُوَيْرِيَاتٌ لَنَا يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ وَيَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِي يَوْمَ بَدْرٍ، إِذْ قَالَتْ إِحْدَاهُنَّ: وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ. فَقَالَ: دَعِي هَذِهِ، وَقُولِي بِالَّذِي كُنْتِ تَقُولِينَ

“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang, lalu beliau masuk tatkala acara pernikahanku. Beliau duduk di atas ranjangku seperti duduknya engkau dariku. Maka beberapa anak perempuan kecil mulai memukul rebana sambil menyebut kebaikan orang-orang yang terbunuh dari orang-orang tuaku dalam Perang Badr. Salah seorang dari mereka ada yang berkata: ‘Di antara kami ada seorang Nabi, yang mengetahui apa yang terjadi esok hari.’ Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Tinggalkan ucapan ini, dan ucapkanlah apa yang tadi engkau katakan’.” (HR. Al-Bukhari, Kitab An-Nikah, Bab Dharbu Ad-Duf fin Nikah wal Walimah, no. 4852)

Al-Hafizh rahimahullahu berkata ketika mengomentari hadits ini: “Al-Muhallab berkata: ‘Dalam hadits ini terdapat dalil tentang bolehnya mengumumkan pernikahan dengan rebana dan nyanyian yang mubah’.” (Fathul Bari, 9/203)

Hal ini dikuatkan pula dengan hadits ‘Amir bin Sa’d radhiyallahu 'anhu, dia berkata:
دَخَلْتُ عَلَى قُرَظَةَ بْنِ كَعْبٍ وَأَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ فِي عُرْسٍ، وَإِذَا جَوَارٍ يُغَنِّينَ. فَقُلْتُ: أَنْتُمَا صَاحِبَا رسول اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنْ أَهْلِ بَدْرٍ، يُفْعَلُ هَذَا عِنْدَكُمْ؟ فَقَاَل: اجْلِسْ، إن شِئْتَ فَاسْمَعْ مَعَنَا، وَإِنْ شِئْتَ اذْهَبْ، قَدْ رُخِّصَ لَنَا فِي اللَّهْوِ عِنْدَ الْعُرْسِ

“Aku masuk ke tempat Quradzah bin Ka’b dan Abu Mas’ud Al-Anshari dalam acara pernikahan. Ternyata ada beberapa anak wanita kecil sedang bernyanyi. Maka aku bertanya: ‘Kalian berdua adalah sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ikut dalam Perang Badr. Hal ini (nyanyian) dilakukan di dekat kalian?’ Maka ia menjawab: ‘Jika engkau mau, dengarkanlah bersama kami. Dan jika engkau mau, pergilah. Sesungguhnya telah dibolehkan bagi kami bersenang- senang ketika pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no. 3383. Dihasankan Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i)

Juga hadits yang diriwayatkan dari Muhammad bin Hathib radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَرَامِ وَالْحَلَالِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ

“Pembeda antara (hubungan) yang haram dan yang halal adalah menabuh rebana dan suara dalam pernikahan.” (HR. Ahmad, 3/418, At-Tirmidzi no. 1088, An-Nasa`i no. 3369, Ibnu Majah no. 1896. Dihasankan Al-Albani dalam Al-Irwa`, 7/1994)

Bernyanyi dan Menabuh Rebana di Hari Raya
Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata:
دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتِ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ. قَالَتْ: وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ في بَيْتِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: يَا أَبَا بَكْرٍ، إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا، وَهَذَا عِيدُنَا

Abu Bakr masuk (ke tempatku) dan di dekatku ada dua anak perempuan kecil dari wanita Anshar sedang bernyanyi tentang apa yang dikatakan oleh orang- orang Anshar pada masa Bu’ats (perang besar yang terjadi di masa jahiliah antara suku Aus dan Khazraj).” Aisyah berkata: “Keduanya bukanlah penyanyi.” Abu Bakr lalu berkata: “Apakah seruling setan di dekat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di rumah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam?” Hal itu terjadi pada hari raya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Wahai Abu Bakr, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya. Dan ini adalah hari raya kita’.” (HR. Al-Bukhari, Kitab Al-‘Iedain, Bab Sunnatul ‘Iedain li Ahlil Islam no. 909)

Dalam riwayat Al-Bukhari pula, dari Aisyah radhiyallahu 'anha: “Abu Bakr radhiyallahu 'anhu masuk ke tempat Aisyah. Di dekatnya ada dua perempuan kecil –pada hari-hari Mina (hari tasyriq) – sambil memukul rebana, dalam keadaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menutup wajahnya dengan bajunya. Abu Bakr lalu membentak mereka berdua. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyingkap baju tersebut dari wajahnya lalu berkata: “Biarkanlah keduanya wahai Abu Bakr, karena sesungguhnya ini adalah hari-hari raya.” Waktu itu adalah hari-hari Mina.” (HR. Al-Bukhari no. 944)

Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari rahimahullahu berkata: “Hadits ini adalah hujjah kami. Sebab Abu Bakr menamakan hal itu sebagai seruling setan, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkari ucapan Abu Bakr. Hanya saja beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang Abu Bakr melakukan pengingkaran keras terhadapnya karena kebaikan beliau dalam bergaul, apalagi pada hari raya. Sementara Aisyah radhiyallahu 'anha masih anak kecil pada waktu itu. Tetapi tidak ada dinukilkan dari beliau (Aisyah) setelah beliau baligh dan mendapat ilmu kecuali celaan terhadap nyanyian. Anak saudaranya sendiri yang bernama Al- Qasim bin Muhammad mencela nyanyian dan melarang dari mendengarnya. Dia (Al-Qasim) mengambil ilmu darinya (Aisyah radhiyallahu 'anha).” (Talbis Iblis, Ibnul Jauzi hal. 292, At-Tahrim hal. 114)

Ibnu Taimiyyah rahimahullahu juga berkata dalam risalah As-Sama’ War Raqsh (Nyanyian dan Tarian): “Dalam hadits ini ada penjelasan bahwa berkumpul untuk perkara ini bukanlah kebiasaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Abu Bakr radhiyallahu 'anhu menamakannya sebagai seruling setan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membiarkan anak-anak perempuan cilik melakukannya dengan menyebutkan sebab bahwa itu adalah hari raya. Dan anak-anak kecil diberi keringanan bermain pada hari-hari raya, sebagaimana terdapat dalam hadits: ‘Agar kaum musyrikin mengetahui bahwa di dalam agama kami terdapat kelonggaran’.” (At-Tahrim hal. 114-115)

Tidak diketahui ada riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang membolehkan umatnya bernyanyi dengan menggunakan rebana, kecuali dua keadaan tersebut: pesta pernikahan dan hari-hari raya.

Wallahul muwaffiq.




Peringatan

Adapun hadits Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, bahwa ada seorang budak wanita hitam datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pulang dari salah satu peperangan. Budak tersebut berkata: “Sesungguhnya aku pernah bernadzar untuk aku memukul rebana di dekatmu, jika Allah Ta'ala mengembalikan engkau dalam keadaan selamat.” Beliau menjawab: “Jika engkau telah bernadzar, maka lakukanlah. Dan jika engkau belum bernadzar maka jangan engkau melakukannya.” Diapun mulai memukulnya. Lalu Abu Bakr radhiyallahu 'anhu masuk dalam keadaan dia tetap memukulnya. Lalu masuklah Umar radhiyallahu 'anhu, maka dia segera menyembunyikan rebana tersebut di belakangnya sambil menutupi dirinya. Maka berkata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: “Sesungguhnya setan benar- benar takut darimu, wahai Umar. Aku duduk di sini dan mereka ini masuk. Tatkala engkau yang masuk, diapun melakukan apa yang dia lakukan tadi.” (HR. Ahmad, 5/353, Ibnu Hibban, 10/4386, Al-Baihaqi, 10/77. Dishahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 4/1609)

Hadits ini merupakan kekhususan bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak diqiyaskan kepada orang lain. Al-Albani rahimahullahu berkata: “Yang nampak bagiku bahwa nadzar wanita tersebut merupakan luapan kegembiraan darinya dengan kedatangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan selamat dan sehat serta mendapat pertolongan. Beliaupun mengampuni, sebab dia telah bernadzar dengannya untuk menampakkan kegembiraannya. Hal ini sebagai kekhususan bagi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, bukan untuk manusia seluruhnya. Sehingga tidak boleh dijadikan sebagai dalil bolehnya memukul rebana pada setiap kegembiraan. Sebab, tidak ada yang lebih menggembirakan dari kegembiraan atas datangnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.” (Silsilah Ash-Shahihah, 4/142, At-Tahrim hal. 124)

Sumber : Majalah Asy Syariah -asysyariah.com-